Lubang Buaya adalah sebuah tempat di kawasan Pondok Gede, Jakarta yang menjadi tempat pembuangan para korban Gerakan 30 September pada 30 September 1965. Secara spesifik, sumur Lubang Buaya terletak di Kelurahan Lubang Buaya di Kecamatan Cipayung,Jakarta Timur.
Lubang Buaya pada terjadinya G30S saat itu merupakan pusat pelatihan milik Partai Komunis Indonesia. Saat ini di tempat tersebut berdiri Lapangan Peringatan Lubang Buaya yang berisi Monumen Pancasila, sebuah museum diorama, sumur tempat para korban dibuang, serta sebuah ruangan berisi relik.
Nama Lubang Buaya sendiri berasal dari sebuah legenda yang menyatakan bahwa adabuaya-buaya putih di sungai yang
terletak di dekat kawasan itu. Lubang buaya terdapat patung elang dan
patung pahlawan, patung elang itu sangat besar. di Lubang buaya juga
terdapat rumah yang di dalamnya ketujuh pahlawan revolusi disiksa dan
dibunuh. Terdapat mobil yang digunakan untuk mengangkut orang orang.
Museum Pengkhianatan PKI Lubang Buaya
Museum Pengkhianatan PKI (Komunis) berada dalam satu kompleks dengan
Monumen Pancasila Sakti yang berada di Jl. Raya Pondok Gede, Lubang
Buaya, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur, beberapa ratus meter dari
Asrama Haji Pondok Gede. Museum Pengkhianatan
PKI ini dikelola oleh Pusat Sejarah TNI, Departemen Pendidikan, serta
Departemen Kebudayaan Pariwisata, memiliki ratusan benda bersejarah
terkait dengan peristiwa pemberontakan G30S-PKI.
Pintu gerbang tinggi menyambut pengunjung ketika memasuki Lubang Buaya,
dengan jalan masuk lebar serta pepohonan rindang. Pengunjung membayar
karcis masuk sebesar Rp.2.500 per orang, baik dewasa maupun anak-anak,
dengan karcis parkir bus Rp. 3.000, mobil sedan Rp. 2.000, sepeda motor
Rp. 1.000.
Pada 17 Oktober 1945 Ce’ Mamat membentuk Dewan Pemerintahan Rakyat
Serang, merebut pemerintahan Karesidenan Banten, menyusun pemerintahan
model Soviet. Ce’ Mamat beserta pengikutnya, diantaranya Laskar Gulkut,
melakukan aksi teror, merampok, menculik membunuh pejabat pemerintahan.
Ketika Presiden Sukarno serta Wakil Presiden Moh. Hatta berkunjung ke
Banten, dengan alasan dipanggil Presiden, Ce’ Mamat dengan anak buahnya
menjemput R. Hardiwinangun, Bupati Lebak, dari rumahnya di Rangkasbitung
dan membawanya ke desa Panggarangan. Keesokan paginya, 9 Desember 1945,
mereka membunuh R. Hardiwinangun dengan menembaknya di atas jembatan
sungai Cimancak lalu melempar mayatnya ke sungai.
Museum Pengkhianatan PKI memperlihatkan tindak kekerasan Pasukan
Ubel-Ubel di Sepatan, Tangerang, pada 12 Desember 1945. Dimulai pada 18
Oktober 1945, Badan Direktorium Dewan Pusat pimpinan Ahmad Khairun
dengan dukungan gembong komunis bawah tanah berhasil mengambil alih
kekuasaan pemerintah RI Tangerang dari Bupati Agus Padmanegara.
Mereka membubarkan aparatur pemerintah tingkat desa sampai kabupaten,
menolak mengakui pemerintah pusat RI, membentuk Laskar Hitam atau Laskar
Ubel-Ubel karena berpakaian serba hitam memakai ubel-ubel (ikat
kepala). Laskar Ubel-Ubel melakukan aksi teror dengan membunuh merampok
harta penduduk Tangerang dan sekitarnya, seperti Mauk, Kronjo, Kresek,
Sepatan.
Pada 12 Desember 1945, dibawah pimpinan Usman, Laskar Ubel-Ubel merampok
penduduk Desa Sepatan, melakukan pembunuhan, termasuk membunuh tokoh
nasional Oto Iskandar Dinata di Mauk.
Museum Pengkhianatan PKI melukiskan peristiwa revolusi sosial Langkat
pada 9 Maret 1946. Peristiwa ini bermula karena berdirinya Republik
Indonesia belum diterima sepenuhnya oleh kerajaan-kerajaan Sumatera
Timur. Ketidakpuasan sebagian rakyat yang menuntut penghapusan kerajaan
dimanfaatkan PKI serta Pesindo untuk mengambil alih kekuasaan secara
kekerasan.
Revolusi sosial dimulai pada 3 Maret 1946, selain untuk menghapus
kerajaan juga merampok harta benda serta membunuh raja-raja beserta
keluarganya. Tindakan teror pembunuhan terjadi di Rantau Prapat,
Sunggal, Tanjung Balai dan Pematang Siantar pada hari itu.
Pada 5 Maret 1946 Kerajaan Langkat secara resmi dibubarkan dan
ditempatkan dibawah pemerintahan RI Sumatera Timur, namun tetap saja
pada malam 9 Maret 1946 massa PKI pimpinan Usman Parinduri dan Marwan
menyerang Istana Sultan Langkat Darul Aman di Tanjung Pura. Istana
diduduki massa PKI, beberapa keluarga Sultan dibunuh, Sultan beserta
keluarganya dibawa ke Batang Sarangan.
PKI membakar ruang pameran Jawatan Pertambangan ketika berlangsung pasar
malam Sriwedari dalam rangka hari ulang tahun kemerdekaan RI. Rembetan
api dapat dicegah, namun timbul kepanikan pengunjung sehingga 22 orang
menderita luka-luka.
Museum Pengkhianatan PKI menampilkan
pemberontakan PKI Madiun pada 18 September 1948. Gagal menjatuhkan
kabinet Hatta dengan cara parlementer, komunis membentuk Front Demokrasi
Rakyat, melakukan aksi-aksi politik serta tindak kekerasan.
Musso (Muso Manowar), atau Paul Mussotte, yang baru kembali dari Moskow
dan mengambil alih pimpinan PKI, menuduh Soekarno-Hatta menyelewengkan
perjuangan bangsa Indonesia. Ia menawarkan “Jalan baru Untuk Republik
Indonesia”. Pada saat perhatian pemerintah dan Angkatan Perang terpusat
untuk menghadapi Belanda, PKI melakukan kampanye menyerang politik
pemerintah, melakukan aksi-aksi teror, mengadu domba kekuatan
bersenjata, juga sabotase ekonomi.
Dini hari 18 September 1948, ditandai 3 letusan pistol, PKI memulai
pemberontakan Madiun. Pasukan Seragam Hitam menyerbu, menguasai
tempat-tempat penting dalam kota, termasuk gedung Karesidenan Madiun. Di
gedung ini PKI mengumumkan berdirinya “Soviet Republik Indonesia” serta
membentuk Pemerintahan Front Nasional. Sejumlah petinggi militer,
pejabat pemerintah dan tokoh masyarakat pun dibunuh.
Museum Pengkhianatan PKI menggambarkan
saat Musso tertembak mati pada 31 Oktober 1948. Pada 1 Oktober 1948,
TNI menguasai Dungus yang dijadikan PKI sebagai basis setelah kekalahan
mereka di Madiun. Pemimpin dan pasukan PKI lari ke arah selatan,
berusaha menguasai Ponorogo, namun gagal. Musso dan Amir Sjarifuddin
lari menuju gunung Gambes, dikawal oleh dua batalyon yang cukup kuat.
Mereka berpisah di tengah perjalanan.
Musso bersama dua orang pengawalnya menyamar sebagai penduduk desa, tiba
di Balong pada pagi 31 Oktober 1948, ia menembak mati seorang anggota
Polisi yang memeriksanya. Dengan naik dokar rampasan diiringi pengawal
bersepeda, hari itu juga ia tiba di desa Semanding, Kecamatan Somoroto.
Ia menembak seorang perwira TNI yang mencegatnya, namun tidak mengenai
sasaran. Karena tidak bisa menjalankan kendaraan TNI rampasan, Musso
lari masuk desa, bersembunyi di sebuah blandong (tempat mandi) milik
seorang penduduk. Pasukan TNI yang mengepungnya memerintahkan supaya ia
menyerah, namun Musso melawan. Ia mati tertembak dalam peristiwa.
Museum Pengkhianatan PKI saat pengunjung mengamati diorama penangkapan Amir Sjarifuddin pada 29 November 1948.
Setelah berpisah dari Musso, melalui perjalanan panjang dan sulit, Amir
Sjarifuddin tiba di daerah Purwodadi dan bersembunyi di gua Macan di
Gunung Pegat, Kecamatan Klambu. Semula polisi keamanan yang menjaga
garis demarkasi Demak-Dempet-Gendong, tidak jauh dari tempat
persembunyiannya, adalah orang-orang komunis, sehingga ia merasa aman.
Setelah TNI melucuti Polisi Keamanan itu dan melancarkan operasi-operasi
pembersihan di sekitar daerah Klambu, posisi Amir Sjarifuddin pun
terjepit. Pada 22 Nopember 1948 pasukan pengawalnya menyerah, dan Senin
sore 29 Nopember 1948 tempat persembunyiannya dikepung TNI. Amir
Sjarifuddin dan beberapa tokoh PKI lainnya pun menyerah dan diserahkan
kepada komandan Brigade-12 di Kudus.
Sesudah Pengakuan Kedaulatan RI, sisa-sisa PKI membentuk gerombolan
bersenjata Sunari di Jawa Timur, Merapi-Merbabu Compleks di Jawa Tengah,
dan gerombolan Eteh di Jakarta. Pada 6 Agustus 1951 pukul 19.00 WIB,
gerombolan bersenjata Eteh berkekuatan puluhan orang dengan memakai ikat
kepala bersimbol burung merpati dan palu arit menyerang asrama Mobile
Brigade Polisi di Tanjung Priok untuk merebut senjata. Dua anggota
polisi mengalami luka-luka parah dan seorang wanita penghuni asrama juga
menderita luka-luka. Gerombolan Eteh berhasil merampas 1 bren, 7
karaben mauser dan 2 pistol.
Pada 1 Oktober 1965 tengah malam, Ketua CC PKI D.N.Aidit melarikan diri
ke Jawa Tengah yang merupakan basis utama PKI. Tanggal 2 Oktober 1965 ia
berada di Yogyakarta, dan berpindah-pindah tempat ke Semarang dan Solo
untuk menghindari operasi pengejaran oleh RPKAD (Resimen Para Komando
Angkatan Darat, sekarang Kopassus). Ia bersembunyi di sebuah rumah di
kampung Sambeng Gede yang merupakan basis Serikat Buruh Kereta Api
(SBKA), organisasi massa di bawah pengaruh PKI.
Tempat persembunyian D.N. Aidit ini akhirnya diketahui oleh ABRI melalui
operasi intelijen. Pada 22 Nopember 1965 pukul 01.30 pagi rumah
persembunyian D.N. Aidit digrebek oleh anggota Komando Pelaksanaan Kuasa
Perang (Pekuper) Surakarta. Penangkapan hampir gagal ketika pemilik
menyatakan D.N. Aidit telah meninggalkan rumahnya. Kecurigaan timbul
setelah anggota Pekuper menemukan sandal yang masih baru, koper dan
radio. Setelah penggeledahan dilanjutkan, dua orang Pekuper menemukan
D.N. Aidit yang bersembunyi di balik lemari, dan ia pun dibawa ke Markas
Pekuper di Loji Gandrung, Surakarta.
Pada 11 Maret 1966 Kabinet Dwikora bersidang di Istana Negara, ditengah
memuncaknya demonstrasi mahasiswa yang menuntut pembubaran PKI,
pembersihan kabinet dari oknum-oknum G.30.S/PKI dan penurunan harga.
Presiden Soekarno yang mendapat laporan bahwa istana dikepung oleh
pasukan tidak dikenal, segera meninggalkan sidang dan berangkat ke
Istana Bogor.
Tiga orang perwira tinggi TNI Angkatan Darat, yaitu Mayjen Basuki
Rachmat, Brigjen M. Yusuf dan Brigjen Amir Machmud menyusul ke Bogor
setelah melapor kepada Men/Pangad Letjen Soeharto. Mereka meyakinkan
Presiden bahwa tidak benar ada pasukan tanpa identitas mengepung Istana
dan menyampaikan pesan Letjen Soeharto yang sanggup mengatasi keadaan
apabila Presiden memberinya kepercayaan untuk tugas itu. Dari laporan
itu lahir ide untuk memberikan Surat Perintah kepada Letjen Soeharto.
Presiden Soekarno memerintahkan ketiga perwira tinggi itu menyusun
konsep surat perintah. Konsep itu kemudian dibaca oleh tiga orang Wakil
Perdana Menteri yang juga berada di Istana Bogor. Surat perintah yang
kemudian dikenal dengan Surat Perintah 11 Maret 1966 atau “Supersemar”
berisi pemberian wewenang kepada Letjen Soeharto untuk mengambil segala
tindakan yang dianggap perlu guna terjaminnya keamanan dan ketenangan
serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi. Malam itu
juga SP 11 Maret disampaikan kepada Letjen Soeharto di Jakarta.
Pada malam tanggal 11 Maret 1966 Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) Soeharto menerima Surat Perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret dari Presiden Soekarno, yang berisi wewenang untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu guna menjamin keamanan dan ketertiban.
Pada tanggal 12 Maret 1966 Letjen Soeharto atas nama Presiden Panglima
Tertinggi ABRI/Mandataris MPRS/Pimpinan Besar Revolusi mengeluarkan
keputusan tentang Pembubaran PKI dan organisasi-organisasi massanya yang
seazas, bernaung dan berlindung di bawah PKI, dan PKI dinyatakan
sebagai organisasi yang terlarang di seluruh wilayah kekuasaan Republik
Indonesia.
Keputusan itu diumumkan melalui RRI pada pukul 06.00 tanggal 12 Maret
1965. Massa rakyat Jakarta mengadakan pawai kemenangan di jalan-jalan
dan membawa poster-poster sebagai ungkapan rasa gembira dan terima
kasih.
Museum Pengkhianatan PKI dilihat dari balkon setelah keluar dari ruangan museum.
Museum Pengkhianatan PKI diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 1
Oktober 1992. Setelah keluar dari gedung Museum Pengkhianatan PKI
terdapat Museum Monumen Pancasila Sakti, yang diresmikan pada 1 Oktober
1981.
Di Museum Monumen Pancasila Sakti ini terdapat diorama rapat persiapan
pemberontakan PKI, latihan sukarelawan PKI di Lubang Buaya (5 Juli – 30
September 1965), penculikan Men/pangad Letjen TNI A Yani, penganiayaan
di Lubang Buaya (1 Oktober), pengamanan lanuma Halim Perdana Kusuma (2
Oktober), Pengangkatan Jenazah (4 Oktober), Proses Lahirnya Supersemar
(11 Maret 1966), dan beberapa diorama lainnya.
Memorabilia Kapten Pierre Andreas Tendean yang disimpan di sebuah Ruang
Relik Museum Monumen Pancasila Sakti. Kapten Pierre Andreas Tendean
menjadi salah satu korban pembunuhan G30S-PKI di Lubang Buaya dan
dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi.
Beberapa pengunjung remaja tampak tengah mengamati pakaian Kol. Katamso
dan Mayjen Suprapto saat dibunuh di Lubang Buaya, serta foto kenangan
dan perlengkapan yang dimiliki almarhum.
Di Museum Monumen Pancasila Sakti terdapat ruangan teater yang
menyajikan pertunjukan VCD berisi rekaman pengangkatan jenazah Pahlawan
Revolusi, pemakaman di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Sidang Mahmilub,
dan pengangkatan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden RI pada 12
Maret 1967, dengan durasi 30 menit.
Sebuah Panser bertipe PCMK-2 Saraceen buatan Inggris yang terletak tidak
jauh dari Gedung Museum Pengkhianatan PKI. Panser ini dipakai untuk
mengangkut jenazah para korban G30S-PKI dari Lubang Buaya ke RSPAD Gatot
Subroto Jakarta guna pemeriksaan visum et repertum. Panser itu juga
pernah dipakai untuk mendukung operasi militer di Timor Timur pada 1976,
sebelum akhirnya ditarik pada Juli 1985 dan dijadikan monumen.
Museum Pengkhianatan PKI
Jl. Raya Pondok Gede, Lubang Buaya, Kecamatan Cipayung,
Jakarta Timur. Telp: 021-8400423, Fax 021-8411381
GPS: -6.291086,106.907331
Jakarta Timur. Telp: 021-8400423, Fax 021-8411381
GPS: -6.291086,106.907331
Klik untuk melihat Peta Museum Pengkhianatan PKI ukuran besar.
Sumber : http://thearoengbinangproject.com/2010/10/museum-pengkhianatan-pki-jakarta/
Sumber : http://thearoengbinangproject.com/2010/10/museum-pengkhianatan-pki-jakarta/
Lihat juga:
Teks Diorama Museum Pengkhianatan PKI
Teks Diorama Museum Pengkhianatan PKI
Tiket masuk: Rp.2.500, parkir bus 5.000, sedan 3.000, motor 1.000.
Buka setiap hari pukul 09.00-16.00 WIB, Senin libur. Setiap tanggal 5
Oktober dan 10 November, pengunjung tidak dikenakan biaya masuk.
Akses ke Museum Pengkhianatan PKI
Mikrolet M28 Kampung Melayu – Pondok Gede | K 06 Kampung Rambutan –
Pondok Gede – Ujung Aspal Kranggan | KWK Chandra 04 Cililitan – Pondok
Gede | KWK 461 UKI – Pondok Gede – Pasar Rebo | KWK T 05 Cililitan –
Setu | KWK T 05A Kampung Rambutan – Lubang Buaya | Metromini T45 Pulo
Gadung – Pondok Gede – TMII
Dari tepi jalan raya jalan kaki 500m, atau naik ojek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar